Saat Kota Mulai Sesak dan Alam Kehilangan Sabarnya

Saat Kota Mulai Sesak dan Alam Kehilangan Sabarnya

Projusticia.id - Ada hal yang sering kita abaikan tanpa sadar: kota tumbuh cepat, tapi kesadaran lingkungannya lambat. Setiap hari kita hidup di tengah deru kendaraan, udara penuh debu, dan sungai yang pelan-pelan berubah jadi saluran limbah. Anehnya, semua itu dianggap wajar, seolah memang begitulah konsekuensi kemajuan. Padahal kalau dipikir lebih dalam, “maju” seperti apa yang kita kejar kalau justru meninggalkan jejak kehancuran di belakangnya?

Udara panas yang kian menusuk bukan lagi sekadar efek cuaca. Itu peringatan. Pohon-pohon yang ditebang untuk membuka lahan baru jarang benar-benar diganti. Hasilnya? Ruang hijau berkurang, tapi gedung terus bertambah. Saat hujan turun, air kehilangan tempat untuk meresap. Saat kemarau datang, debu dan polusi menari di jalanan. Dan di antara semua itu, manusia terus beraktivitas tanpa sempat berhenti sejenak untuk merenung: sampai kapan bumi bisa menanggung gaya hidup kita yang seenaknya?

Saya sempat membaca beberapa ulasan di http://dlhdepok.org/ tentang pentingnya membangun kesadaran lingkungan dari tingkat keluarga. Di situ disebut bahwa menjaga lingkungan bukan urusan besar yang menunggu momen, tapi kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus. Misalnya dengan menanam tanaman di pekarangan, mengurangi plastik sekali pakai, atau memilah sampah rumah tangga. Hal-hal sederhana semacam itu memang tidak langsung mengubah dunia, tapi bisa jadi permulaan yang baik agar bumi tidak semakin sesak napas.

Yang paling menarik, ada satu kalimat yang terus teringat: “Jika setiap rumah menanam satu pohon, maka satu kota bisa bernapas lebih lega.” Kedengarannya sederhana, tapi betapa jarangnya kita benar-benar melakukannya. Banyak orang lebih rela beli air purifier daripada menanam pohon di halaman, padahal alam sudah memberi penyaring udara terbaik secara gratis. Ini soal mindset kita lebih suka solusi instan, bukan perubahan perilaku yang butuh komitmen.

Isu lingkungan juga bukan lagi milik aktivis atau komunitas pencinta alam. Ini sudah jadi urusan hidup-mati masyarakat kota. Setiap kantong plastik yang berakhir di sungai, setiap puntung rokok yang dibuang sembarangan, setiap kebiasaan menyalakan kendaraan untuk jarak yang bisa ditempuh jalan kaki semuanya saling berkait. Alam tak pernah menghukum, tapi ia selalu menyeimbangkan. Dan ketika keseimbangannya rusak, manusialah yang paling dulu menanggung akibat.

Situs http://dlhdepok.org/ juga menyoroti betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam kebijakan lingkungan. Pemerintah bisa membuat regulasi, tapi tanpa kesadaran publik, semuanya hanya berhenti di kertas. Kitalah yang menentukan apakah bumi akan tetap layak dihuni atau justru berubah jadi tempat yang asing bagi generasi berikutnya.

Mungkin sekarang waktunya berhenti sibuk membicarakan “dunia yang lebih baik” dan mulai bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita melakukan sesuatu hari ini agar bumi bisa bertahan sedikit lebih lama? Karena kalau terus menunggu orang lain, jangan heran kalau nanti satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan tentang udara bersih dan langit biru yang pernah ada.

Posting Komentar

Jangan tinggalkan apapun, kecuali jejak.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak