Projusticia.id - Akhir-akhir ini, saya makin sering merasa ada yang tidak beres dengan cara kita memperlakukan bumi. Entah karena udara yang makin pengap meski di pagi hari, atau karena sungai-sungai yang dulu jernih sekarang berubah warna jadi kelabu. Alam seperti sedang berteriak, tapi manusia sibuk menutup telinga dengan alasan “nanti aja deh, belum sempat”. Padahal, kalau dipikir, yang kita tunda sebenarnya bukan pekerjaan, tapi masa depan.
Kita sering terjebak dalam pola pikir aneh: merasa bahwa menjaga lingkungan adalah tugas orang lain. Padahal, setiap plastik yang kita buang sembarangan, setiap air yang dibiarkan mengalir tanpa alasan, dan setiap lampu yang menyala semalaman, itu semua jadi bagian dari rusaknya keseimbangan bumi. Nggak usah jauh-jauh ngomong soal perubahan iklim global atau deforestasi di Amazon. Cukup lihat saja halaman belakang rumah kita sendiri banyak yang sudah tidak ramah hidup.
Sampah jadi musuh yang paling dekat tapi paling diabaikan. Padahal, tidak ada sampah yang benar-benar “hilang”. Semua cuma berpindah tempat: dari tangan ke tong, dari tong ke TPA, dan dari TPA ke udara atau sungai. Siklusnya begitu terus, sampai akhirnya menumpuk di mana-mana. Kalau bukan di darat, ya di laut. Ironisnya, manusia yang membuang, tapi juga manusia yang akhirnya menelan kembali partikel mikroplastik dari ikan dan air minum.
Saya sempat membaca artikel di http://dlhkabkarawang.org/ tentang pentingnya edukasi lingkungan sejak dini. Di situ dijelaskan bahwa perubahan perilaku kecil bisa berdampak besar. Misalnya dengan memilah sampah organik dan anorganik, menggunakan kembali barang yang masih bisa dipakai, atau menanam pohon di sekitar rumah. Sekilas tampak sederhana, tapi praktiknya sering sulit karena kita terlalu terbiasa dengan yang instan. Maunya cepat beres, tanpa repot mikirin dampaknya.
Yang paling lucu kalau boleh dibilang begitu adalah bagaimana banyak orang menganggap isu lingkungan itu “tidak penting” selama mereka masih bisa hidup nyaman. Padahal kenyamanan itu cuma sementara. Ketika banjir datang karena saluran mampet, atau udara penuh asap karena pembakaran liar, barulah kesadaran itu muncul. Tapi sayangnya, kesadaran yang datang terlambat sering kali tak lagi berguna.
Krisis lingkungan bukan cuma tentang rusaknya alam, tapi juga tentang rusaknya rasa tanggung jawab sosial. Kita sudah terlalu lama memisahkan diri dari ekosistem tempat kita hidup. Manusia seolah makhluk yang berdiri di atas alam, bukan bagian darinya. Padahal, setiap napas yang kita hirup, setiap setetes air yang kita minum, semua itu bergantung pada sistem ekologis yang rumit dan saling terhubung.
Mungkin sudah waktunya berhenti bicara soal “siapa yang salah” dan mulai bertanya: “apa yang bisa saya lakukan sekarang?” Karena kalau menunggu sistem berubah dulu baru mau bergerak, bisa-bisa bumi keburu lelah. Banyak hal kecil yang bisa kita mulai hari ini. Bawa botol minum sendiri, kurangi konsumsi barang sekali pakai, dukung produk lokal yang ramah lingkungan, dan yang paling penting sebarkan kebiasaan baik itu ke orang lain.
Ada pepatah yang bilang, “kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi meminjamnya dari anak cucu.” Klise, tapi makin terasa benar. Karena saat melihat generasi muda tumbuh di tengah cuaca yang makin ekstrem dan udara yang makin tipis kualitasnya, saya sadar: yang kita wariskan bukan lagi masa depan hijau, tapi beban.
Krisis lingkungan hari ini bukan cuma soal hutan yang gundul atau laut yang kotor, tapi tentang cara kita memperlakukan bumi seolah bukan rumah sendiri. Setiap plastik yang dibuang sembarangan, setiap pohon yang ditebang tanpa rencana, dan setiap tetes air yang terbuang percuma adalah tanda betapa kita lupa bahwa alam sedang menagih tanggung jawab.
Tapi lucunya, manusia lebih sering sibuk dengan kenyamanan sementara daripada keselamatan jangka panjang. Kita masih saja berpikir bahwa urusan lingkungan adalah tugas pemerintah atau aktivis, padahal bumi ini juga tempat kita berpijak. Seperti diingatkan pula oleh artikel lain di https://dlhkabkarawang.org/, masalah utama bukan kurangnya solusi, tapi kurangnya kemauan. Dan memang benar, yang membuat bumi rusak bukan hanya tindakan besar, tapi kelalaian kecil yang kita anggap sepele setiap hari.
Bumi nggak butuh diselamatkan, sebenarnya. Ia sudah ada jauh sebelum manusia muncul. Yang butuh diselamatkan itu kita dari keserakahan, dari kemalasan, dan dari rasa cuek yang pura-pura modern. Jika terus begini, mungkin suatu hari nanti, anak-anak kita akan bertanya: “Kenapa dulu kalian diam saja waktu alam mulai sekarat?”
Dan saat itu, apa yang akan kita jawab?
