Projusticia.id - Setiap kali melihat hujan turun deras dan sungai meluap, sebagian orang langsung menyalahkan cuaca. Padahal, yang sebenarnya rusak bukan cuacanya, tapi keseimbangan yang kita ganggu pelan-pelan. Alam sudah terlalu lama menunggu kita sadar, tapi sampai hari ini, kita masih sibuk membungkus masalah dengan plastik secara harfiah maupun simbolik.
Dulu, ketika kecil, saya ingat sungai di kampung masih jernih. Airnya bisa langsung diminum, anak-anak bebas mandi tanpa rasa takut. Sekarang, air yang sama berubah jadi cokelat pekat, berbau, dan penuh sampah. Kadang botol, kadang popok, kadang juga bekas bungkus sabun cair. Masyarakat menyebutnya “nasib zaman modern”, padahal itu bukan nasib. Itu akibat.
Masalah lingkungan sering kali dibicarakan di ruang seminar, tapi jarang benar-benar dipahami di lapangan. Kita terlalu sering menjadikan isu lingkungan sebagai bahan pidato, bukan perilaku. Padahal kalau mau jujur, akar persoalannya sederhana: manusia kehilangan rasa malu terhadap bumi. Kita terus menuntut udara bersih, tapi tetap menyalakan motor meski jarak hanya 300 meter. Kita ingin sungai jernih, tapi masih merasa “tak apa” buang sampah kecil ke selokan.
Kesadaran tidak bisa dipaksakan, tapi bisa ditumbuhkan. Ia lahir dari pengalaman, bukan sekadar peraturan. Saat seseorang menanam pohon dan melihatnya tumbuh, di situ biasanya tumbuh pula rasa sayang. Rasa itu yang membuat orang berhenti sembarangan menebang, berhenti sembarangan membuang.
Saya pernah ikut kegiatan penanaman pohon di perbukitan sekitar Sragen. Bukan acara besar, hanya beberapa orang dari komunitas kecil yang peduli pada daerah resapan air. Saat menggali tanah dengan cangkul sederhana, saya baru sadar betapa kerasnya tanah yang sudah lama tak disentuh akar. Beberapa bagian bahkan nyaris gersang, seperti kehilangan napas. Di situlah terasa jelas: kerusakan alam tidak selalu datang dari bencana besar, tapi dari kelalaian kecil yang berulang setiap hari.
Seorang bapak petani yang ikut menanam pohon waktu itu bilang, “Alam ini nggak minta apa-apa, cuma jangan dilukai terus.” Kalimat itu sederhana, tapi menancap kuat. Kadang kita tidak butuh teori panjang untuk mengerti, cukup mendengarkan mereka yang hidup paling dekat dengan alam.
Dalam banyak kesempatan, pemerintah daerah sebenarnya sudah berusaha. Seperti Dinas Lingkungan Hidup Sragen yang lewat laman dlhsragen.id.
mengajak masyarakat lebih aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan dan mengelola sampah rumah tangga. Tapi sebagus apapun programnya, tanpa partisipasi warga, semuanya hanya berhenti di papan pengumuman.
Masalah lingkungan bukan sesuatu yang bisa didelegasikan. Ia tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada dinas, lembaga, atau aktivis. Alam tidak peduli siapa yang memegang jabatan atau siapa yang memimpin kampanye. Alam hanya akan merespons tindakan nyata. Kalau kita terus merusak, maka ia akan membalas dengan caranya sendiri.
Ada satu kebiasaan kecil yang bisa jadi awal perubahan: berhenti abai. Abai itu bentuk pelanggaran paling halus yang sering kita lakukan tanpa rasa bersalah. Abai pada tumpukan sampah di pinggir jalan, abai pada pohon yang ditebang tanpa izin, abai pada air yang terus mengalir tanpa dimatikan. Kalau satu orang berhenti abai, mungkin dampaknya kecil. Tapi kalau satu komunitas berhenti abai, itu bisa jadi kekuatan besar.
Kita sering mengira menyelamatkan lingkungan harus dengan langkah besar, padahal tidak. Kadang, hanya dengan menolak satu kantong plastik, menanam satu pohon, atau tidak membuang satu puntung rokok ke sungai, kita sudah menabung kebaikan yang besar. Tidak untuk bumi saja, tapi juga untuk diri sendiri dan generasi berikutnya.
Saya percaya, setiap orang punya hubungan batin dengan alam, meski kadang terlupakan. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan ketika kita berjalan di tengah pepohonan atau mendengar suara air sungai yang mengalir. Alam selalu sabar memberi, bahkan setelah berkali-kali disakiti. Tapi kesabaran itu bukan tanpa batas. Ada titik di mana alam akan berhenti menunggu, dan mulai menegur.
Kita sudah melihat banyak tanda: musim yang tak menentu, banjir yang makin sering, panas yang semakin ekstrem. Semua itu bukan kebetulan. Itu peringatan.
Dan mungkin, peringatan terakhir sebelum bumi benar-benar lelah menampung ego manusia.
Menjaga lingkungan bukanlah tugas segelintir orang yang memakai seragam hijau atau membawa spanduk bertuliskan Go Green. Ini urusan semua manusia yang masih ingin menghirup udara bersih dan melihat langit biru. Tidak ada yang terlalu kecil untuk berbuat sesuatu.
Satu langkah kecil memang tidak bisa mengubah dunia, tapi tanpa langkah itu, dunia tidak akan pernah berubah sama sekali.
Mungkin sekarang saatnya kita berhenti menunggu orang lain. Saatnya kita yang bergerak, menanam, mengurangi, membersihkan, dan menjaga. Karena bumi tidak pernah meminta banyak ia hanya ingin sedikit rasa hormat dari penghuninya.
