Hidup di Antara Plastik yang Tak Kunjung Hilang

Hidup di Antara Plastik yang Tak Kunjung Hilang

Projusticia.id - Kita mungkin tidak benar-benar sadar, tapi setiap hari kita hidup di tengah lautan plastik. Dari kantong belanja, bungkus makanan, hingga peralatan rumah tangga, plastik selalu ada di sekitar kita. Ia begitu praktis, ringan, dan murah. Tapi di balik semua keunggulan itu, plastik menyimpan ancaman yang tak kasat mata: kerak masa depan yang tidak bisa terurai.

Di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Bogor, tumpukan sampah plastik sudah jadi pemandangan biasa. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor bahkan mencatat kekurangan armada pengangkut sampah yang cukup parah dari kebutuhan 900 unit truk, yang tersedia baru sekitar 200 unit. Artinya, sebagian besar sampah berpotensi menumpuk di tempat-tempat yang seharusnya sudah bersih. Informasi ini bisa dibaca langsung di laman resmi https://dlhkabbogor.org/

Masalahnya bukan sekadar pada jumlah truk, tetapi pada cara kita memandang plastik. Banyak orang masih menganggapnya sepele. Padahal setiap sedotan, bungkus mi instan, atau kantong kresek yang kita buang sembarangan akan bertahan di tanah atau di laut selama ratusan tahun. Sementara bumi terus menanggung akibatnya.

Beberapa tahun terakhir, semakin banyak gerakan lingkungan yang menekankan pentingnya mengurangi plastik. Tapi sejujurnya, tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging. Membawa tas belanja kain, menolak sedotan plastik, atau membeli produk isi ulang terdengar sederhana, tapi sulit dijalankan secara konsisten. Apalagi di tengah gaya hidup serba cepat yang menuntut kenyamanan instan.

Namun, justru dari hal-hal kecil itulah perubahan bisa dimulai. Saat seseorang menolak satu kantong plastik, mungkin efeknya terasa kecil. Tapi bayangkan jika seribu orang melakukannya setiap hari. Efeknya akan luar biasa.

Saya pernah mengikuti kegiatan pembersihan sungai bersama komunitas pecinta alam. Di situ, realita terasa lebih keras dari teori. Dalam satu jam saja, puluhan karung plastik berhasil dikumpulkan. Isinya bukan hanya bungkus makanan, tapi juga popok, botol deterjen, bahkan sandal jepit. Sungai yang dulu jadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi jalur pelarian bagi sampah yang tidak tahu arah.

Yang lebih menyedihkan, sampah-sampah itu datang dari rumah tangga biasa. Dari kita semua. Bukan dari pabrik besar atau perusahaan multinasional. Artinya, kita sendiri punya andil besar dalam krisis yang kita keluhkan.

Saya masih ingat, salah satu teman berkata pelan, “Kita ini kadang baru peduli kalau sampahnya sudah sampai di halaman rumah.” Kalimat itu menampar, tapi memang benar. Banyak yang baru tersadar ketika air got meluap karena sumbatan plastik, atau saat ikan yang ditangkap nelayan mulai mengandung mikroplastik.

Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup, upaya pengelolaan melalui bank sampah di beberapa wilayah terbukti cukup efektif. Melalui sistem itu, masyarakat bisa menukar sampah plastik dengan uang atau barang kebutuhan. Cara ini bukan hanya membantu mengurangi tumpukan sampah, tetapi juga menumbuhkan kesadaran baru: bahwa sampah punya nilai jika dikelola dengan benar. Program seperti ini banyak dibahas di situs https://dlhkabbogor.org/, dan patut jadi contoh bagi daerah lain.

Meski begitu, edukasi lingkungan tetap jadi tantangan besar. Banyak masyarakat yang masih menganggap persoalan sampah sebagai urusan pemerintah semata. Padahal pemerintah tidak akan pernah cukup kuat jika warganya tidak mau bergerak bersama.

Mungkin sebagian dari kita berpikir, “Apa gunanya mengurangi plastik, toh yang lain juga tetap membuang?” Tapi logika semacam ini justru membuat kita terus terjebak. Perubahan besar memang tidak terjadi dalam semalam, tapi selalu dimulai dari satu tindakan kecil yang dilakukan dengan konsisten.

Kita tidak perlu jadi aktivis untuk peduli. Cukup jadi manusia yang sadar bahwa bumi ini tidak punya cadangan. Ketika laut dipenuhi plastik, hutan kehilangan kesuburannya, dan udara tercemar, maka yang akan menderita bukan bumi melainkan kita sendiri.

Setiap kali saya naik gunung atau berjalan di hutan, saya selalu merasa kecil. Di tengah pepohonan dan udara bersih, saya teringat bahwa alam tidak butuh manusia. Kitalah yang butuh alam. Maka menjaga kebersihannya bukan sekadar hobi, tapi kewajiban moral.

Bayangkan, jika setiap orang mulai membawa botol minum sendiri, menggunakan wadah isi ulang, menolak sedotan plastik, dan membatasi kemasan sekali pakai berapa banyak plastik yang bisa diselamatkan dari tempat pembuangan? Langkah kecil itu bisa jadi cara kita berterima kasih pada bumi yang masih setia menampung segalanya, meski sering kita abaikan.

Plastik mungkin sulit dihindari sepenuhnya, tapi bukan berarti kita harus menyerah. Selama masih ada kesadaran dan kemauan, perubahan itu mungkin. Dan perubahan itu bisa dimulai dari satu keputusan sederhana: tidak menambah beban bumi hari ini.

Karena kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?

Posting Komentar

Jangan tinggalkan apapun, kecuali jejak.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak