Projusticia.id - Tidak banyak orang yang bisa mengubah kehilangan menjadi kekuatan. Tapi Yetneberh Nigussie mampu melakukannya dengan cara yang menggetarkan hati. Ia kehilangan penglihatannya saat berusia lima tahun karena meningitis. Dalam usia yang begitu muda, dunia tiba-tiba menjadi gelap, dan segalanya berubah. Namun bagi Yetneberh, gelap bukanlah akhir dari cerita. Di sanalah bab baru hidupnya justru dimulai.
Yetneberh tumbuh di Ethiopia, di tengah masyarakat yang masih sangat kental dengan pandangan tradisional terhadap perempuan dan penyandang disabilitas. Banyak anak perempuan di sekitarnya dinikahkan muda, tapi nasib berkata lain padanya. Karena kebutaannya, orang tuanya memutuskan untuk menunda pernikahan dan memprioritaskan pendidikan. Keputusan itu sederhana, tapi menjadi fondasi besar bagi perjalanan hidupnya. Dari situ, pintu menuju dunia ilmu terbuka lebar, membawa Yetneberh pada perjalanan panjang menuju pemberdayaan dan keadilan.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Addis Ababa, mengambil jurusan hukum. Di kampus itu, ia mulai memahami arti sejati dari kesetaraan. Ia bukan hanya belajar tentang pasal-pasal dan sistem hukum, tapi juga mulai menyadari betapa banyak perempuan dan penyandang disabilitas yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Yetneberh tidak tinggal diam. Ia membentuk salah satu asosiasi pertama di Ethiopia yang memperjuangkan hak-hak mahasiswa perempuan. Langkah itu menandai awal dari komitmen panjangnya untuk memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya bagi mereka yang sering diabaikan.
Dalam pandangannya, kecacatan tidak terletak pada diri seseorang, melainkan pada lingkungan yang gagal memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki potensi, hanya saja dunia belum cukup inklusif untuk melihatnya. Keyakinan itu tumbuh kuat dan menjadi arah perjuangan yang ia bawa sepanjang hidupnya.
Sebagai pengacara dan aktivis, Yetneberh kemudian bergabung dengan Ethiopian Center for Disability and Development. Di sana, ia mendorong kebijakan yang lebih adil bagi penyandang disabilitas, memperjuangkan akses pendidikan, kesempatan kerja, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Pekerjaannya membawa perubahan nyata di tingkat nasional dan regional. Di banyak forum internasional, namanya mulai dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah berbicara tentang inklusi sosial dan keadilan bagi semua.
Baca juga:
Pada tahun 2017, dunia menaruh perhatian padanya. Yetneberh menerima Right Livelihood Award, penghargaan bergengsi yang sering disebut sebagai Hadiah Nobel Alternatif. Pengakuan ini datang setelah bertahun-tahun ia bekerja di balik layar, mengangkat suara yang selama ini tidak terdengar. Namun bagi Yetneberh, penghargaan itu bukan puncak, melainkan pengingat bahwa perjuangan masih panjang.
Kisah hidupnya terus menginspirasi banyak orang. Ia menunjukkan bahwa empati bisa menjadi kekuatan yang mengubah kebijakan dan pola pikir masyarakat. Dalam setiap pidatonya, Yetneberh berbicara dengan nada lembut tapi tegas. Ia selalu mengingatkan bahwa keadilan sosial hanya bisa terwujud jika kita mau melihat manusia sebagaimana adanya, tanpa prasangka.
Di balik kesuksesannya, Yetneberh tetap sederhana. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pahlawan, melainkan sebagai bagian dari gerakan besar yang ingin dunia lebih adil dan setara. Ia tahu perjuangan ini tidak mudah, tapi juga tidak mustahil. Setiap langkah kecil bisa membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk hidup tanpa diskriminasi.
Yetneberh adalah bukti bahwa kehilangan tidak selalu berarti kekurangan. Dari gelap, ia menyalakan cahaya yang kini menerangi jalan banyak orang. Ia membuktikan bahwa kekuatan sejati bukan datang dari penglihatan, melainkan dari visi. Dan visinya sangat jelas: dunia di mana semua orang, tanpa terkecuali, bisa hidup dengan martabat yang sama.
Hari ini, nama Yetneberh Nigussie mungkin tidak setenar selebritas dunia, tapi pengaruhnya terasa di setiap ruang di mana orang memperjuangkan kesetaraan. Ia telah membuktikan bahwa satu kehidupan bisa membawa perubahan besar, bahkan ketika dunia pernah menolak untuk melihat.
